Senjakala Koran atau Senjakala Korang*?

by I.S. Siregar

Gambar dinukil dari fidzi.comNewspaper karya Suyog Mankar
https://www.fizdi.com/newspaper-art_7163_42946-handpainted-art-painting-13in-x-10in/

Jika Anda berkunjung ke kantor Facebook, akan Anda temukan ke mana pun mata memandang  tulisan “Move Fast and Break Things”. Ya, bergerak cepat dan terobos segalanya. Facebook dengan kuda pacu internet memang telah menerobos banyak hal.[1] Bayangkan! 52% perusahan yang masuk dalam jejeran Fortune 500 tidak lagi eksis secara fisik.[2] Perusahaan transportasi tidak lagi memiliki kendaraan. Raksasa usaha perhotelan tidak lagi memiliki bangunan hotel. Koran-koran tidak lagi mengutus wartawan untuk menyaksikan pertandingan sepakbola  demi sebuah narasi yang ciamik, tinggal memakai program komputer semua data statistik pertandingan bisa diubah menjadi kata-kata dan voila! Jadilah rubrik sepakbola.[3]

Kini, kita dihadapkan pada horizon teknologi yang tampaknya akan menerobos segala hal termasuk dunia penerbitan koran. Jemari kita tak akan lama lagi lupa rasanya menyentuh kertas buram berisi sederet informasi yang biasa dinikmati pada pagi hari sembari menyesap secangkir kopi. Tak akan ada juga tumpukan koran menumpuk di gudang yang kelak hendak dijual kepada pengepul kertas daur ulang.

Apakah fakta itu buruk? Baiklah, bicara soal baik dan buruk dalam hal ini tentu perkara yang relatif, rumit dan terburu-buru. Sekarang, mari kita menengok ke sejarah sejenak.

Pada abad ke-14, Johannes Gutenberg, seorang pandai besi yang tinggal di Mainz—salah satu kota penting kerajaan Romawi kala itu, memodifikasi alat pres anggur menjadi alat pencetak tulisan. Sebelum itu tulisan yang ada di buku disalin ulang secara manual. Butuh waktu yang tidak sedikit untuk menyalin satu buku saja pada masa itu. Berkat alat temuan Gutenberg proses transkripsi tulisan hanya memakan waktu satu jam untuk 250 lembar. Sebuah revolusi literasi yang amat luar biasa. Dinding monopoli informasi yang biasa dikuasai oleh para agamawan dan warga elit kerajaan masa itu lebur rata dengan tanah. Tidak ada lagi sekat pengetahuan berdasar kelas sosial. Gelombang yang dimotori oleh Gutenberg ini memicu perubahan besar yang segera menjalar ke seluruh dunia. Di Eropa, gelombang itu menjadi tsunami bernama Rennaisance, sebuah rentang waktu yang menjadikan pengetahuan sebagai pencerahan bagi manusia. Abad pencerahan yang dulu itu adalah cikal dari kemajuan—kalau kita ingin menyebutnya demikian—yang kita rasakan detik ini.

Empat abad kemudian, rel kereta api dan telegraf berhasil dikembangkan. Lalu lintas perekonomian kian cair karena kereta uap. Informasi berseliweran dalam sekejap karena telegraf. Anda tentu bisa menebak, apa yang terjadi jika mesin cetak yang efisien, jalur kereta yang menyebar rata dan mesin telegraf menjamur di mana-mana bersatu padu. Roda-roda peradaban bergerak pada kecepatan maksimal!

Apa penemuan-penemuan fantastis di atas selalu mendapat apresiasi positif? Tentu saja tidak. Jika Anda mengkaji ilmu manajemen, Anda akan tahu bahwa manusia adalah entitas yang paling sulit untuk menerima perubahan. Jika Anda ingin memperbarui sistem keuangan sebuah perusahaan amatlah mudah, tinggal tingkatkan teknologi beserta perangkat lunak dan keras komputer urusan jadi beres. Namun, jika Anda ingin merubah perilaku pegawai-pegawai Anda menjadi lebih baik, Anda harus menyekolahkan mereka berbulan-bulan, mengadakan sertifikasi keahlian dan hal-hal rumit lainnya. Dalam sejarah manusia, beradaptasi dengan lingkungan baru bukan perkara secuil ujung jari. Dari sekian banyak genus homo—Neandertals, Erectus, Soloensis, dan seterusnya—hanya homo sapien yang berhasil beradaptasi.

Dalam menanggapi kemajuan internet yang makin menjadi-jadi, seorang taipan media konvensional pemilik News Corp bernama Rupert Murdoch berkata, “kita harus memusnahkan internet atau internet yang akan memusnahkan kita.”[4]  Begitu banyak pula orang mengomentari tentang bahayanya konektivitas tanpa batas akan menguasai kehidupan kita, sama seperti komentar Henry David Thoreau, filsuf Perancis yang mengamati Amerika, saat menanggapi pembangunan rel kereta api, “kita bukan berkendara di atas rel kereta, melainkan rel kereta itu yang mengendarai kita.”[5]

Apakah koran konvensional dengan segala atribut khas yang dimilikinya lalu berubah menjadi bentuk digital merupakan hal yang buruk? Saya rasa tidak juga. Dunia berubah dan kita perlu beradaptasi. Bukan bentuk fisik korannya yang diutamakan melainkan kualitas informasi yang disajikan.

Majalah Horison majalah sastra kenamaan di negeri ini kini sudah tidak terbit lagi dalam bentuk fisik. Apakah itu pertanda kiblat kesusastraan kita mati? Tidak juga. Banyak sekali sastrawan muda lahir dalam ekositem digital saat ini. Dengan merambahnya YouTube dimana siapa pun bebas berbicara mengenai apa pun, apakah itu berarti otoritas keilmuan menjadi mati? Tidak juga. Di tahap awal kita akan merasa bahwa banyak sekali orang salah memposisikan pengetahuan di dalam YouTube, lambat laun orang-orang akan pintar menyaring mana berlian dan mana sampah. Ini hanya tahap awal. Sama seperti ketika awal mesin cetak muncul, banyak orang berbondong menerbitkan tulisan-tulisan sampahnya dan disebar kemana-mana. Kian hari orang kian cerdas memilah. Pada akhirnya mesin cetak mampu menyetarakan pengetahuan dan menandur bibit pencerahan.

Jadi, dengan beralihnya koran beserta segala kenangan menyertai tidak perlu diguyuri rasa duka. Kita hanya perlu move on dan sedikit beradaptasi. Digitalisasi adalah lanjutan revolusi dan penyetaraan informasi dari mesin cetak Gutenberg. Kita sudah pernah melaluinya. Tak perlu gamang. Memang, move on itu tidak mudah. Jendral Tian Feng alias Cu Phat Kai pernah berkata: “Dari dulu memang begitulah cinta, penderitaannya tiada pernah berakhir.” Loh, heh!

*Tulisan ini pernah dimuat di Buletin Detak Aksara Malang edisi Januari 2021.


*Korang adalah kata ganti dalam bahasa Melayu untuk menyebut orang kedua baik tunggal maupun jamak.

[1] Belakangan “break things” dinilai terlalu agresif, maka sekarang diganti menjadi “Move Fast with Stabble Infrastructure”.

[2] “Digital Transformation Is Racing Ahead and No Industry Is Immune,” Harvard Business Review, 19 Juli, 2017.

[3] Benjamin Mullin, “The Associated Press Will Use Automated Writing to Cover the Minor Leagues,” Poynter.org, 30 Juni, 2016.

[4] David Sarno, “Murdoch Accuses Google of News ‘Theft,’ ” Los Angeles Times, 2 Desember, 2009.

[5] Henry David Thoreau, Walden (1854; Princeton University Press, 1971), hal. 60.