Tempe

by I.S. Siregar

Gambar diambil dari https://www.123rf.com/photo_15623350_tempe-is-traditional-food-of-java.html

Tahun 1996, sekitar 9.000 orang di Jepang terserang wabah E coli O-175 yang tercemar dalam daging olahan. Dalam sehari, orang-orang itu buang air besar lebih dari tiga kali sehari, muntah yang tak terhitung dan perut yang nyeri minta ampun. Akibatnya, badan kian lemas dan asupan yang masuk sedikit sekali tercerna. Ratusan orang meninggal sebagai dampak akhir dari wabah ini. Kepanikan adalah udara yang dihirup masyarakat Jepang kala itu.

Adalah tempe, si juru selamat dari kasus di atas. Orang-orang Jepang mengubah kebiasaan mereka yang gandrung akan daging menjadi pemakan tempe. Tempe diolah menjadi tempe bakar, tempe miso, tempe tempura, tempe steak dan tempe burger. Singkat kata, tempe menyelamatkan mereka dari wabah E coli O-175.

Dalam buku 1000 Tahun Nusantara ada satu judul yang memaparkan kemanjuran tempe oleh berbagai penelitian. Diantaranya, Prof. Darwin Karyadi, yang merupakan bekas Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, menyatakan kadar isoflavon dalam kedelai meningkat berkali lipat saat difermentasi. Isoflavon ini menjadi pembunuh sel-sel kanker akibat senyawa radikal bebas. Tak cukup sampai di situ, isoflavon juga mempengaruhi metabolisme hormon steroid, menurunkan kadar kolestrol dan melindungi sel-sel hati dari terpaan senyawa beracun.

Di Universitas Helsinki, di Finlandia sana, para peneliti bertanya-tanya. Mengapa pria Jepang berpotensi terserang kanker prostat lebih rendah ketimbang pria Finlandia? Jawabannya adalah kadar isoflavonoid pria Jepang lebih tinggi 7 hingga 10 kali lipat dibanding pria Finlandia. Baru dipahami ternyata kebiasaan pria Jepang memakan tempe dan tahu yang menjadikan mereka memiliki isoflavonoid lebih tinggi.

Dr. Mary Astuti seorang peneliti dari Universitas Gadjah Mada melakukan percobaan pada kelinci. Kelinci itu diberi makan tempe setiap hari. Saat bakteri E coli disuntikkan ke dalam tubuh kelinci, zat kekebalan tubuhnya yang semula Ig A berubah menjadi Sig A. “S” pada Ig A adalah superoksida yang melindungi usus dari infeksi. Alhasil, percobaan itu menunjukkan tempe mampu melipat gandakan fungsi kekebalan tubuh.

Saat menjelajah YouTube, saya secara tak sengaja menemukan seorang dokter bernama Zaidul Akbar. Dokter ini menjelaskan soal kejahatan medis. Kemudian, ia berinisiasi menyebarkan paham agar masyarakat bisa mengobati dirinya sendiri tanpa bantuan dunia medis. Menurutnya, makanan adalah obat paling ampuh bagi segala jenis penyakit. Sejalan dengan apa yang pernah dikatakan lelaki agung bermata mulia bernama Muhammad, “segala jenis penyakit datangnya tidak lain adalah dari perutmu.”

Dalam setiap paparannya, dr. Zaidul Akbar hampir selalu melibatkan tempe baik sebagai bahan utama maupun bahan tambahan dalam anjuran menu sehat yang ia berikan kepada khalayak. “Tempe itu makanan super dan tersehat di dunia,” paparnya suatu ketika, “syaratnya cuma satu, jangan digoreng.”

Tempe saat ini menjadi makanan super di negara-negara yang dikatakan maju. Selain super sehat, juga super mahal. Dua maskapai penerbangan mewah, Singapore Airlines dan KLM (Belanda) bahkan menjadikan tempe sebagai menu utama bagi pelanggan setia mereka. Tempe juga menjadi tren di kalangan vegetarian.

Jika melirik ke negara kita, Indonesia tercinta, klaim-klaim di atas mungkin akan membuat kita agak geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak? Tempe di sini dijajakan ala kadarnya, dijual murah dan bisa didapat di toko sayur palling kumuh sekalipun. Kita akan bahas ini nanti, sekarang mari kita lihat sejarah tempe.

Dalam serat Centhini (1814) disebutkan bahwa tempe sudah menjadi bahan makanan masyarakat Nusantara. Sudah demikian sejak kerajaan Majapahit berkuasa.

Sejarawan Ong Hok Ham berpendapat kedelai sudah ada di Cina sejak 5000 tahun yang lalu. Sedangkan tempe mulai populer di Jawa pada abad ke-19. Kendati paparan Ong Hok Ham agak berbeda dari Serat Centhini, mari kita simak lebih lanjut. Menurut sejarawan cum koki handal ini, sebelum abad ke-19, keadaan pulau Jawa belum padat sehingga memungkinkan ada perternakan dalam jumlah yang tidak sedikit. Kita juga sering menemukan dalam tradisi Jawa yang merupakan warisan leluhur, ada banyak sekali ritual yang melibatkan hewan ternak baik sebagai simbol maupun santapan, seperti kepala kerbau dan sebagainya. Ini menandakan pola makan masyarakat Jawa kala itu sarat dengan daging-dagingan. Seiring dengan masuknya kolonialisme dengan bejibunnya perkebunan kolonial dan bertambahnya penduduk di Jawa, dengan sendirinya mengubah pola makan masyarakat. Lebih-lebih ketika ada kebijakan tanam paksa, tempe saat itu menjadi makanan penting karena mudah dibuat dan murah harganya.

Tempe bermula dari ketidaksengajaan sebagaimana penemuan rokok kretek oleh Haji Djamari. Tempe dibuat pertama kali di Jawa dan merupakan sumbangan Nusantara bagi kuliner dunia. Jadi, Anda jangan sekali-sekali main-main dengan tempe.

Sekarang kita kembali ke topik tempe di negeri sendiri. Kebutuhan kedelai nasional per tahun adalah sebensar 3,6 juta ton. Sedangkan kapasitas produksi hanya 1 juta ton. Itu artinya ada 2,6 juta ton kedelai yang didapat dari impor. Anda tahu siapa pemasok utama kebutuhan kedelai nasional kita? Adalah Amerika Serikat dengan total impor 2,5 juta ton pada tahun 2018. Jadi, tak usah heran-heran amat kenapa tempe tak menjadi makanan super di tanah kelahirannya sendiri. Bahan dasarnya saja dipasok dari luar.

Kini mari kita mengintip ke gedung-gedung tinggi sekolahan. Apa yang dilakukan oleh para sarjana pertanian, guru-guru besar dan para profesor? Kita punya banyak ahli pertanian hebat tapi sepertinya tidak cukup untuk membuat hasil pertanian berkembang pesat. Kenapa hal itu bisa terjadi? Mungkin karena terlalu banyak berteori. Sama halnya dengan pertanyaan seberapa banyak sastrawan yang lahir dari Fakultas Sastra? Hanya secuil! Para akademisi sibuk menafsir dan meneliti. Itu sebenarnya bagus tapi cuma setengah. Mereka tidak praktek dan juga tidak difasilitasi untuk terjun ke masyarakat. Kalau pun ada paling cuma secuil! Lalu semua orang berharap negeri ini akan swasembada? Swasembada apa? Swasembada remah-remah rengginang?

Begitulah kita, khusuk berteori tapi lupa untuk terjun langsung. Kita melihat teori sebagai kebenaran, kebenarannya sendiri kurang menarik. Bahkan kebenaran ditempatkan 2 level di bawah teori. Ada sebuah cerita. Seorang guru besar sedang menumpang seorang nelayan menuju suatu tempat dan terjadilah perbicangan ini:

“Hai nelayan, apakah kamu mengerti soal geografi?”

“Pengetahuan geografi saya hanyalah sebatas air pasang. Jika air pasang berarti hujan akan turun, Tuan.”

“Rugilah kamu, nelayan! 1/3 hidupmu telah hilang kalau kau tak mengerti geografi,” lalu sang guru besar menambah, “Kalau begitu apakah kamu mengerti biologi?”

“Pemahaman saya tentang biologi hanya sebatas jenis-jenis ikan yang saya tangkap saja, yang mana bisa dimakan dan yang mana tidak, Tuan”

“Rugilah kamu nelayan! 1/3 hidupmu hilang kalau kau tak mengerti biologi,” demikian si guru besar, “Kalau matematika, apakah kamu mengerti?”

“Pengetahuan matematika saya hanya sebatas hitung-hitungan jumlah berat ikan dan hasil penjualannya, Tuan.”

“Sungguh, hidupmu penuh kerugian, nelayan!” Hardik sang guru besar.

Kemudian, keadaan mendadak gelap. Badai akan menerpa perahu yang ditumpangi guru besar dan nelayan. Langit berubah gelap. Petir menggema. Kepanikan menggantung di atas kepala mereka.

“Wahai, guru besar, apakah Anda bisa berenang? Sebentar lagi badai akan menghantam perahu ini. Bersiap-siaplah untuk menyelamatkan diri.”

Guru besar membalas, “Saya tidak bisa berenang, nelayan …”

“Nah! Saya mungkin berkali-kali kehilangan hidup saya karena tidak memahami geografi, biologi dan matematika. Namun, Anda, hai guru besar! Betul-betul akan kehilangan seluruh hidupmu dalam sekali waktu karena tidak bisa berenang!”

Kini, di negara-negara seperti Amerika Serikat, Jerman dan Jepang sudah ada pengembangan tempe. Sudah ada tempe generasi ke-2 dan ke-3 yang pengolahannya maju pesat sedangkan kita masih saja memakan tempe generasi 1.

Kita sering mendengar cercaan “dasar mental tempe!” kitapun bingung apakah merasa bangga atau terhina. Kita terhina karena tempe itu murah dan bangga karena tempe dijadikan makanan super oleh bangsa lain. Ah, entahlah! Dasar tempe!